Mohamad Shah Idzwan Bin Mohd Isa (kiri) dan Muhammad Irfanshah Bin Abdul Kareem dari Klub Media Infocomm Sekolah Menengah Northbrooks.
“Kami tahu bahwa beberapa anak muda sangat enggan untuk mencari bantuan karena mereka merasa malu dengan situasi mereka, jadi kami telah menciptakan sebuah aplikasi yang akan memberdayakan mereka untuk mengambil keputusan untuk mencari bantuan sendiri.” – MUHAMMAD IRFANSHAH BIN ABDUL KAREEM
Mohamad Shah Idzwan Bin Mohd Isa (kiri) dan Muhammad Irfanshah Bin Abdul Kareem dari Klub Media Infocomm Sekolah Menengah Northbrooks.
BUKA SET KETERAMPILAN BARU
Tim dari Klub Media Infocomm sekolah telah mempelajari cara membuat kode sebagai bagian dari kegiatan kokurikuler mereka, jadi masuk akal bagi mereka untuk mengembangkan aplikasi untuk pengajuan proyek mereka untuk Infocomm Media Club Youth Awards. Pada awalnya, mereka mempertimbangkan untuk membuat game seluler, namun kurangnya pengalaman di bidang tersebut menjadi kendala. Pada akhirnya, mereka memilih pendekatan berbasis kuesioner sebagai cara untuk mendeteksi gejala awal masalah kesehatan mental dan memberikan bantuan bagi kaum muda.
Mohamad Shah Idzwan Bin Mohd Isa (15) mengatakan bahwa mengerjakan proyek tersebut mengajarinya bahasa pengkodean baru, Swift, selain dua bahasa yang sudah ia ketahui. “Swift sedikit lebih sulit untuk dikerjakan,” dia berbagi. “Anda harus memastikan semuanya dikodekan dengan benar – jika tidak, seluruh aplikasi tidak akan berfungsi sama sekali.”
Selain belajar menggunakan Swift, Irfan juga memperoleh pemahaman lebih baik tentang kesehatan mental dengan meneliti konten aplikasi. “Hal ini memberi saya wawasan lebih dalam mengenai pentingnya kesehatan mental, dan bagaimana kita dapat menjaga kesejahteraan diri kita sendiri dengan lebih baik,” ujarnya.
CAPAI TINGGI BARU BERSAMA
Dalam membangun aplikasi mereka, tim beranggotakan empat orang – termasuk rekan satu tim Royton Tok dan Muhammad Rafie Bin Fauzi, keduanya berusia 15 tahun – mengalami beberapa kendala, seperti masalah teknis dengan iPad yang sedang mereka kerjakan. “Hanya ada dua iPad yang bisa menjalankan aplikasi ini,” kata Irfan. “Dengan yang lain, kodenya tidak terdaftar sama sekali. Jadi, ketika saya sedang mengerjakan kodenya, saya harus menelepon yang lain untuk menjelaskan apa yang saya lakukan – yang sangat menantang, karena mereka tidak dapat melihat apa yang saya lakukan atau apakah saya melakukan sesuatu yang salah.”
Idzwan menambahkan bahwa aplikasi mereka memiliki kecenderungan yang disayangkan untuk terus mogok – seringkali karena kesalahan ketik kecil atau kesalahan ketik pada kode, yang berarti mereka semua harus memindai seluruh blok kode baris demi baris untuk menemukan kesalahan yang dapat dilacak. Meski begitu, tim berhasil mengatasi rintangan untuk memenangkan penghargaan istimewa dalam kategori Teknologi. Pengalaman ini juga memperkuat kecintaan mereka terhadap coding, serta keinginan mereka untuk belajar lebih banyak lagi di masa depan.
Meskipun Irfan menikmati kebebasan merancang fitur dan fungsi sesuai seleranya melalui kode, rasa pencapaianlah yang membuat Idzwan terus maju. “Coding itu menyenangkan sekali,” kata Idzwan. “Menulis kode terasa memuaskan bagi saya, dan jika berhasil, saya sangat senang.”