Sebelumnya pada hari Rabu, Fadillah mengatakan di Facebook: “Kami mengusulkan agar (UE) mengadakan diskusi baik melalui gugus tugas atau dialog yang melibatkan negara-negara produsen, pelaku industri, perwakilan organisasi non-pemerintah (LSM) dan petani kecil sehingga ada Kejelasannya adalah dari pedoman yang telah ditetapkan dan tidak mengecualikan pihak manapun, terutama petani kecil.”
“(Mayoritas) pimpinan tertinggi UE yang kami temui… sepakat (untuk mengadakan diskusi)… Hanya saja mereka harus berdiskusi secara internal bagaimana mendapatkan komitmen dari UE itu sendiri.”
Fadillah mengatakan bahwa lima pertemuan tersebut diadakan di Brussels dengan lima pemimpin utama Uni Eropa.
Dia menambahkan bahwa para pemimpin tertinggi UE akan mengunjungi Malaysia dan Indonesia untuk berkomunikasi dengan semua pihak yang terlibat.
Pembicaraan lanjutan mengenai apa yang telah dibahas dan disepakati juga akan diadakan antara para pemimpin UE dan duta besar Malaysia dan Indonesia, kata Fadillah.
“Mereka mendengarkan pemikiran kami mengenai kepatuhan terhadap EUDR dan ketidakpuasan kami karena kami tidak dilibatkan dalam proses tersebut ketika mereka ingin memperkenalkan EUDR. Mereka juga sadar telah terjadi diskriminasi atau tindakan yang bisa disebut sepihak yang berdampak pada petani kecil,” kata Pak Fadillah.
Misi dagang bersama tersebut terjadi setelah kedua menteri bertemu di Jakarta awal tahun ini dan sepakat untuk melakukan misi ke UE.
Dalam beberapa tahun terakhir, UE telah memperkenalkan peraturan untuk mengatur impor minyak sawit, dan mencatat bahwa budidaya tanaman tersebut mengakibatkan deforestasi yang berlebihan. Hal ini memicu kemarahan produsen utama minyak sawit Indonesia dan Malaysia, yang masing-masing menyumbang 56 persen dan 31 persen produksi minyak sawit global.
EUDR mewajibkan perusahaan untuk memastikan bahwa komoditas yang dijual di UE tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi. Hal ini berdampak pada tujuh komoditas tertentu – yaitu minyak sawit, kakao, kopi, kedelai, kayu, karet dan sapi – dan produk-produk yang terbuat dari komoditas tersebut serta produk turunannya.
Pernyataan terpisah yang dikeluarkan sebelumnya pada hari Selasa oleh Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menyatakan bahwa EUDR melemahkan upaya Indonesia untuk menyelesaikan masalah terkait perubahan iklim dan perlindungan keanekaragaman hayati.
Berdasarkan pernyataan tersebut, Menteri Koordinator Hartarto pada hari Selasa mengatakan bahwa negara-negara anggota Dewan Negara Penghasil Minyak Sawit (COPC) telah secara ketat menerapkan berbagai kebijakan di bidang konservasi hutan.
“Bahkan tingkat deforestasi di Indonesia sudah turun hingga 75 persen dalam kurun waktu 2019 hingga 2020. Indonesia juga berhasil mengurangi luas wilayah terdampak kebakaran hutan hingga 91,84 persen.”
Ia juga menyampaikan bahwa standar keberlanjutan nasional yang dimiliki Indonesia dan Malaysia harus diakui oleh Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO). Ia menyerukan agar EUDR memberi jalan bagi produk minyak sawit yang bersertifikat ISPO atau MSPO.
“Peran industri (sawit) sangat penting. Mari kita bersama-sama mempromosikan kelapa sawit secara positif sesuai dengan upaya dan komitmen yang telah dilakukan selama ini,” kata Airlangga.