INFLASI IMPOR JUGA MENJADI FAKTOR
Secara umum, Bapak Faisal dari CORE Indonesia percaya bahwa masalah pasokan merupakan faktor yang lebih kuat dibandingkan permintaan yang tinggi. Hal ini terutama benar ketika seseorang mengkaji inflasi impor.
Inflasi impor terjadi ketika harga bahan bakar dan bahan impor yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan biaya produksi di dalam negeri. Hal ini pada gilirannya menyebabkan harga yang lebih tinggi untuk barang-barang yang diproduksi di dalam negeri.
Inflasi impor juga dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar.
Ini telah menjadi masalah sejak akhir tahun lalu, kata Faisal, mengutip contoh bagaimana kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri disebabkan oleh harga minyak sawit yang lebih tinggi secara global.
“Masalah pasokan sudah terjadi sejak akhir tahun lalu seperti masalah minyak goreng, gandum dan BBM nonsubsidi,” ujar Faisal.
“Ini semua adalah faktor yang tidak ada dalam tujuh tahun terakhir. Itu sebabnya tingkat inflasi sekarang tinggi,” tambahnya.
Ekonom Jakarta Bhima Yudhistira mengatakan dengan harga produk impor yang lebih tinggi, produsen lokal tidak punya pilihan selain menaikkan harga mereka juga.
Direktur Eksekutif Think Tank Center for Economic and Legal Studies (CELIOS) menambahkan, inflasi impor juga akibat lemahnya nilai tukar mata uang.
Saat rupiah melemah, impor menjadi lebih mahal.
Pada bulan Juli, rupiah menembus angka 15.000 terhadap dolar AS, posisi terlemahnya dalam dua tahun.
Itu sekitar 14.800 terhadap dolar AS selama beberapa minggu sebelum mencapai 15.000 lagi Jumat lalu (5 Agustus).
Profesor Sri Diningsih dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengatakan, tingginya harga bahan pangan dan energi impor mempengaruhi Indonesia, meski pemerintah telah memberikan subsidi.
“Efeknya tidak terasa pada awalnya, meski negara lain sudah melaporkan tingkat inflasi 8 atau 9 persen…
“Namun, pemerintah tidak bisa melindungi semuanya,” kata profesor yang mengkhususkan diri pada ekonomi internasional dan moneter itu.
Pemerintah memberikan subsidi di banyak bidang, termasuk BBM, listrik bahkan beras.
Subsidi dimaksudkan untuk menjaga agar harga tetap terjangkau, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang merupakan bagian signifikan dari 270 juta penduduk negara itu.
Ketika harga internasional melambung, harga barang di Indonesia juga naik, terlepas dari apakah disubsidi atau tidak, tambah Prof Diningsih.
Misalnya, dia mengatakan harga minyak dunia telah naik hingga US$120 per barel.
Akibatnya, pemerintah menaikkan harga migas kelas premium yang tidak disubsidi. Bahan bakar kelas premium ini umumnya digunakan oleh kelompok berpenghasilan menengah ke atas.
Pemerintah juga menaikkan tarif listrik pada Juli untuk bisnis dan rumah tangga yang memasang sirkuit yang beroperasi pada 3.500 volt-ampere ke atas. Rumah tangga berpenghasilan rendah biasanya menggunakan sirkuit tegangan rendah.
“Jadi itu mempengaruhi semuanya dan laju inflasi Indonesia semakin cepat,” Prof Adiningsih melihat.
“Apalagi karena rupiah melemah. Oleh karena itu, hal ini mempengaruhi harga produk impor.”