Choo menetapkan beberapa aturan agar Sebastien memantau perilakunya, tujuannya agar pemuda tersebut bisa beradaptasi dengan masyarakat. Aturannya antara lain tidak bertepuk tangan, tidak berisik, dan menutup telinga saat berada di tempat umum.
Jika Sebastien tidak mengikuti aturan tersebut, hal-hal yang disukainya akan diambil sebagai hukuman. Bagi Choo, cara ini cukup logis pada saat itu. Ia bahkan menganjurkan agar orang tua dari anak autis melakukan hal serupa.
Namun keadaan mulai memburuk setelah Sebastien menginjak usia 15 tahun. Choo mulai menjadi sasaran serangan putranya.
“Saya pikir saya bisa mati ketika dia berumur 20 tahun,” tambah Choo.
“Dia marah besar. Dia meneriaki aturan dan hukuman yang saya buat, dan mengatakan dia tidak peduli. Dia akan berteriak seperti binatang dan memukuli saya,” kata Choo lagi.
Choo juga tidak pernah tahu apa yang bisa memicu kemarahan Sebastien. Misalnya, kata Choo, Sebastien akan memukulnya jika menyebut celana pendek yang dikenakan putranya terlalu kecil. Saat itu, Sebastien memang sedang mengalami fase percepatan pertumbuhan.
“Serangan terus berlanjut dan saya terjatuh ke lantai dan kepala saya terbentur dinding,” kata Choo.
KEHIDUPAN SEHARI-HARI YANG SULIT
Choo mengancam akan memanggil polisi dan mengunci Sebastien di rumah, tapi itu hanya memperburuk keadaan.
Kehidupan sehari-hari menjadi sulit karena setiap hal kecil yang tidak beres, seperti lampu atau speaker tidak menyala, menjadi masalah besar.
“Dia meminta barang-barang itu segera diperbaiki,” kata Choo seraya menambahkan bahwa Sebastien akan melukai dirinya sendiri jika permintaannya tidak dipenuhi. “Dan aku benar-benar mulai merasa takut.”
Choo terpaksa berhenti menggunakan angkutan umum karena Sebastien selalu ngotot duduk di baris terakhir, di kursi tengah yang dilengkapi sabuk pengaman.
Jika seseorang sudah duduk di sofa, Sebastien akan memaksa orang tersebut bergerak dengan memelototinya. Choo mengatakan Sebastien akan marah jika sabuk pengamannya tidak berfungsi.
“Dia akan mulai membenturkan kepalanya ke bus dan menyerang saya agar saya dapat memperbaikinya,” kata Choo.
Sebastien akan memukul kepalanya dengan keras. Suaranya sangat keras hingga terdengar seperti bola basket yang dipantulkan ke tanah, kata Choo.
“Saya harus sangat berhati-hati setiap hari. Ini sangat menegangkan. Dan tidak ada yang tahu apa yang harus dilakukan.”
Choo merasa keberadaannya belum menjadikan Singapura tempat yang tepat bagi Sebastien.