JAKARTA : Tekanan terhadap rupiah diperkirakan hanya bersifat sementara, kata seorang pejabat senior Bank Indonesia (BI) pada hari Kamis, memperkirakan bahwa mata uang tersebut akan menguat untuk mencerminkan nilai fundamentalnya pada akhir tahun ini.
Edi Susianto, Kepala Departemen Manajemen Moneter BI, mengatakan kepada Reuters bahwa bank sentral akan memprioritaskan kebijakan yang mendukung mekanisme pasar dan tidak memerlukan kontrol modal.
Rupiah mencapai titik terlemahnya sejak April 2020 pada hari Rabu karena mata uang di seluruh dunia berada di bawah tekanan di tengah kenaikan dolar AS.
Edi memperkirakan nilai tukar rupiah akan mencerminkan prospek perekonomian Indonesia yang kuat pada akhir tahun ini, namun menolak memberikan perkiraan BI mengenai tingkat fundamentalnya.
“Saya yakin kita akan mencapai nilai fundamental (rupiah)…setelah volatilitas dan sentimen di pasar mereda,” ujarnya.
Namun, ia memperkirakan akan terjadi lebih banyak volatilitas di pasar valuta asing dalam beberapa minggu mendatang, didorong oleh spekulasi mengenai seberapa jauh Federal Reserve akan menaikkan suku bunga AS.
Secara terpisah, Presiden Indonesia Joko Widodo pada hari Kamis menyalahkan kebijakan fiskal baru Inggris, termasuk pemotongan pajak yang tajam, memperburuk gejolak di pasar yang sudah berlangsung.
Presiden mengatakan penurunan nilai tukar rupiah sekitar 7 persen sepanjang tahun ini lebih baik dibandingkan mata uang Asia lainnya.
Edi mengatakan BI memimpin pasar keuangan dengan menggunakan “triple intervensi” yang mengacu pada operasi di pasar valuta asing (FX), domestic non-deliverable forward (DNDF) dan pasar obligasi.
Operasi yang dominan terjadi di pasar DNDF, di mana transaksi diselesaikan dalam rupiah, sehingga membatasi penggunaan cadangan devisa BI untuk melakukan intervensi, katanya.
“Dalam situasi saat ini, kita harus pintar-pintar mengelola cadangan devisa,” kata Edi seraya menyebutkan bahwa intervensi bank sentral lain terkadang gagal membalikkan depresiasi mata uang.
Cadangan devisa Indonesia mencapai $132,2 miliar pada akhir Agustus, terendah sejak Juni 2020 dan sekitar $12,7 miliar di bawah cadangan pada akhir tahun 2021.
BI juga telah melakukan apa yang disebutnya “operasi twist” di pasar obligasi dalam beberapa bulan terakhir, dengan menjual obligasi jangka pendek dan membeli obligasi jangka panjang.
Penjualan obligasi jangka pendek mengurangi arus keluar modal pada bulan September, kata Edi, seraya menambahkan bahwa BI tidak banyak membeli obligasi jangka panjang seperti dana pensiun dan perusahaan asuransi.
BI saat ini memiliki obligasi pemerintah senilai lebih dari 1.300 triliun rupiah ($85,33 miliar), banyak yang terakumulasi selama pelonggaran kuantitatif di era pandemi.
Edi tidak merinci perputaran operasionalnya, namun mengatakan, secara netto hal tersebut harus sejalan dengan kebijakan perampingan BI.
Tahun ini, BI menaikkan suku bunga sebanyak dua kali dengan total 75 basis poin dan memperketat aturan likuiditas perbankan.
($1 = 15.235.0000 rupiah)