SINGAPURA: Pengadilan keluarga telah memberikan lampu hijau kepada seorang perempuan Indonesia untuk melanjutkan upayanya untuk mendapatkan bagiannya dari tiga properti di Singapura yang dimilikinya bersama mantan suaminya dan saudara laki-lakinya.
Mantan suaminya, yang menikah lagi dengan penduduk tetap Singapura, keberatan dengan tawaran perempuan tersebut. Dia mengatakan properti di Singapura Tengah “bukan merupakan properti perkawinan” dan malah dibeli sebagai “investasi keluarga” untuk dirinya dan saudara laki-lakinya.
Berdasarkan putusan yang diterbitkan pada Jumat (23 Desember), hakim memberikan izin kepada perempuan tersebut untuk melanjutkan permohonan bantuan keuangannya, sementara mantan suaminya mengajukan banding atas perintah tersebut.
LATAR BELAKANG KASUS
Wanita dan mantan suaminya sama-sama berkewarganegaraan Indonesia dan menikah di Indonesia pada tahun 1992.
Mereka memiliki dua anak dewasa dan bercerai di Indonesia pada tahun 2014, setelah sang suami memulai proses perceraian atas dasar perlakuan yang tidak masuk akal dari sang istri.
Wanita tersebut tidak hadir selama proses persidangan di pengadilan Indonesia, namun kemudian mengajukan banding terhadap perintah perceraian. Bandingnya ditolak.
Persidangan tersebut menyangkut tiga properti di pusat Singapura yang “bernilai”. Nilai pastinya tidak diungkapkan dalam putusan.
Properti tersebut dimiliki bersama oleh perempuan tersebut, mantan suaminya, dan saudara laki-lakinya, dengan saudara laki-lakinya memiliki 50 persen saham dan pasangan tersebut memiliki 50 persen lainnya.
Properti tersebut dibeli pada tahun 2014 dengan dana investasi gabungan dari mantan suami, saudara laki-lakinya, dan ayah mereka.
Ayah mantan suami tersebut kemudian didiagnosis menderita atrofi sistem multipel, dengan kelainan batang otak yang parah dan gangguan fungsi kognitif.
Keluarga tersebut berselisih pada tahun 2016 mengenai siapa yang memiliki kekuasaan hukum untuk mengatur urusannya.
PROSES HUKUM
Sekitar Juli 2018, mantan suami tersebut mengajukan gugatan di Indonesia terhadap anggota keluarga dan istrinya atas perselisihan tersebut, serta dugaan dilusi saham di perusahaan keluarga tersebut. Gugatan tersebut dibatalkan di tingkat banding pada tahun 2019.
Pada bulan Februari 2021, mantan suaminya memulai proses di Pengadilan Tinggi Singapura terhadap saudara laki-lakinya yang meminta perintah penjualan ketiga properti tersebut.
Ia beralasan, properti tersebut bukan merupakan properti perkawinan dan dibeli sebagai investasi keluarga dengan dana investasi gabungan dari mendiang ayahnya, saudara laki-lakinya, dan dirinya sendiri.
Sang suami menekankan bahwa investasi ini tidak pernah dimaksudkan untuk menguntungkan mantan istrinya, dan bahwa mantan istrinya tidak menyumbangkan uang tunai atau barang untuk pembelian properti tersebut.
Dia menambahkan bahwa nama mantan istrinya “secara tidak sengaja” dimasukkan dalam judul tersebut, karena dia bersikeras agar namanya dicantumkan di sebelahnya, karena dia masih menjadi istrinya pada saat itu.
Ketika perkawinan berada di ujung tanduk dan menuju perceraian, sang istri memberikan kuasa kepada mantan suaminya untuk setiap harta benda, sehingga ia dapat bertindak tanpa referensi padanya.
WANITA BERGABUNG DALAM PERANG
Wanita tersebut awalnya tidak mengetahui tentang proses Pengadilan Tinggi tersebut. Ketika dia mengetahuinya, dia turun tangan, mencabut surat kuasanya untuk ketiga properti tersebut dan menyatakan kepada pengadilan bahwa dia akan mengklaim bagiannya atas properti tersebut.
Hakim Aedit Abdullah, yang memimpin persidangan di Pengadilan Tinggi Singapura, memerintahkan pada bulan Maret tahun ini bahwa ketiga properti tersebut harus dijual, dan saudara laki-laki mantan suami harus melakukan penjualan tersebut.
Hasil penjualan yang merupakan bagian yang dipersengketakan harus disimpan dalam escrow sambil menunggu penetapan hak milik perkawinan antara istri dan mantan suaminya.
Wanita tersebut diminta untuk mengajukan lamaran pernikahannya dalam waktu enam minggu, jika tidak, uang yang disimpan di escrow akan diberikan kepada mantan suaminya saja.
Oleh karena itu, sang istri mengajukan permohonan cuti ke Pengadilan Keadilan Keluarga di Singapura, sebagaimana diwajibkan oleh Piagam Perempuan, untuk mengajukan permohonan keringanan finansial yang timbul dari proses perkawinan di luar negeri terhadap mantan suaminya.
Mantan suaminya menentang upaya perempuan tersebut ke pengadilan, dengan mengatakan bahwa masalah tersebut dapat diselesaikan di Indonesia, berdasarkan hukum Indonesia.
Dia berargumen bahwa dia terjebak di Singapura dan dilarang kembali ke Indonesia karena COVID-19, dan bahwa rumahnya adalah Indonesia dan dia hanya berada di Singapura dengan izin kunjungan sosial.
Dia mengatakan tujuh tahun telah berlalu sejak perceraian dan penundaan lama tersebut belum dapat dijelaskan.
Selama itu, mantan suami tetap memelihara ketiga properti di Singapura dan membiayai pengeluarannya, tanpa kontribusi apa pun dari istri.
TEMUAN PENGADILAN KELUARGA
Hakim Distrik Darryl Soh dalam putusannya menyatakan bahwa mantan suaminya memiliki hubungan yang nyata dengan Singapura. Pasangannya saat ini adalah penduduk tetap Singapura dan dia tinggal di sini bersamanya.
Dia memegang beberapa properti investasi di Singapura dan bermaksud membeli lebih banyak properti setelah penjualan tiga properti kontroversial tersebut.
Hakim Soh menerima penjelasan mantan istrinya mengapa dia membutuhkan waktu sekitar tujuh tahun untuk memulai lamarannya. Ia menjelaskan bahwa sejak perceraian tersebut, tindakan hukum lainnya telah diajukan oleh mantan suaminya di Indonesia, dengan waktu dan uang yang dihabiskan untuk menangani dan menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Hakim Soh memberikan izin kepada istri sehubungan dengan tiga harta benda tersebut. Jumlah ini dibatasi hingga 50 persen dari hasil penjualan properti, karena istri dan mantan suaminya hanya memiliki 50 persen properti tersebut.
Katanya, bukti mantan suami itu sendiri yang menyebut nama istri dicantumkan dalam hak milik selama perkawinan.
Nilai tersebut sudah cukup untuk memenuhi definisi aset perkawinan berdasarkan Piagam Perempuan, kata Hakim Soh.
“Apakah itu dimaksudkan untuk menjadi aset perkawinan dan apakah ada perselisihan mengenai kontribusi terhadap aset perkawinan itu adalah masalah tersendiri, dan harus dipertimbangkan setelah cuti diberikan dan ketika pengadilan mendengarkan permohonan keringanan finansial,” ujarnya.